Indonesia Pain Threshold Looms on Rate Increases: Southeast Asia

Indonesia’s most aggressive rate-tightening in eight years has barely dented a current-account deficit, prompting calls for more increases and other measures before the Federal Reserve cuts stimulus.

Bank Indonesia has raised borrowing costs by 1.75 percentage points to 7.5 percent since mid-June, the quickest since 2005. Following data last week showing the country recorded its second-highest current-account shortfall on record in the three months through September, JPMorgan Chase & Co. and Standard Chartered Plc now see a further 50 basis points of increases in the first half of next year.

Foreign funds pulled $3.8 billion from Indonesian stocks and local-currency bonds in June after the Fed said it could cut stimulus, and a lack of progress on improving the current account before the U.S. does eventually taper leaves the country vulnerable to another sudden outflow. The government said this week it will raise import taxes for consumer goods, showing policy makers are looking for other bullets to slay the deficit.

The rate rise on Nov. 12 came after a pause in October and was forecast by just one of 25 analysts surveyed by Bloomberg. A day later, the government reported a current-account deficit of $8.4 billion in the third quarter, compared with a record $9.9 billion in the previous three months.

(Source: Bloomberg)

Dollar Gains Versus Major Peers on Fed Taper in Coming Months

The dollar rose against most major peers as Federal Reserve officials said they might reduce their $85 billion in monthly bond purchases “in coming months” as the economy improves, minutes of their last meeting show.

The euro dropped from a four-year high versus the yen as the European Central Bank is considering a negative deposit rate if more economic stimulus is needed, according to two people with knowledge of the debate. The yen strengthened as a panel said Japan’s government-run pension fund needs restructuring.

The Bloomberg U.S. Dollar Index, which monitors the greenback against 10 major peers, increased for the first time in four days, adding 0.4 percent to 1,019.07 yen at 5 p.m. in New York.

The euro declined 0.8 percent to 134.43 yen after earlier touching 135.95, the strongest level since October 2009. The shared currency fell 0.7 percent to $1.3439. The dollar slid 0.1 percent to 100.03 yen.

(Source: Bloomberg)

Masyarakat masih andalkan emas

Oleh Dyah Megasari - Sabtu, 16 November 2013 | 15:33 WIB

Masyarakat Indonesia sudah sangat familiar dengan logam mulia satu ini, emas. Itulah sebabnya, di beberapa pialang investasi emas menjadi komoditas yang memiliki volume transaksi tertinggi.

Padahal, dalam perdagangan bursa komoditas (PBK) dan bursa berjangka, Indonesia memiliki banyak produk nonfinansial yang menyimpan peluang menarik, karena banyak pelaku bisnis yang membutuhkan, seperti olein, cacao, dan timah.

Adalah PT Jalatama Artha Berjangka (JAB), salah satu pialang yang terdaftar resmi di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), yang memiliki volume perdagangan emas cukup tinggi. Direktur Utama JAB Jacob Ongkowidjojo ditemui Kompas.com, Jumat (14/11/2013) menuturkan, hal itu dikarenakan komoditas tersebut diperdagangkan dalam dua sistem, bilateral dan multilateral.

“Masyarakat juga lebih familiar dengan emas,” ujar Jacoeb.

Saat ini di BBJ, emas diperdagangkan dengan satuan 1 kilogram per lot, 250 gram per lot, dan 100 gram per lot. Dengan satuan seberat ini, emas menduduki peringkat teratas sistem perdagangan bilateral, dengan penawaran kontrak Loco London Gold (Loco).

Menyusul emas, dalam sistem perdagangan bilateral ada kontrak Forex (foreign exchange) atau valuta asing dan Index Saham (stock index) yang bergantian saling mendominasi. Menurut Jacoeb, kondisi itu lantaran keduanya sangat terpengaruh faktor riil. Ketika saham sangat bergejolak, pasar bermain ke Forex, bursa yang bergerak.

“Emas relatif konstan di posisi teratas karena dia punya karakteristik sendiri sebagai objek investasi,” imbuh Jacoeb.

Sementara itu, sistem perdagangan multilateral di JAB didominasi komoditas olein, produk turunan crude palm oil (CPO). Jacoeb mengungkapkan kenapa emas tidak terlalu besar dalam perdagangan multilateral dikarenakan satuan emas yang besar, sehingga tidak bisa dipasarkan secara retail. Emas justru menduduki peringkat kedua, disusul cacao, dalam perdagangan multilateral.

Diakui Jacoeb, perdagangan multilateral baru mengambil porsi 10 persen dari keseluruhan rata-rata transaksi per bulan yang mencapai 15.000 lot. Untuk meningkatkan volume transaksi perdagangan emas tersebut, JAB bersama BBJ saat ini tengah menyusun spesifikasi yang lebih kecil untuk komoditas emas, yang terdiri dari 5 gram per lot, 10 gram per lot, dan 25 gram per lot.

“Sebagai pialang dan pemegang saham (BBJ), multilateral diusahakan bisa menyeimbangi bilateral. Membuat produk yang lebih marketable, dan mendiversifikasi produk sehingga menjangkau pasar yang lebih luas,” ujarnya . (Estu Suryowati/Kompas.com) 

Sumber : http://investasi.kontan.co.id/news/masyarakat-masih-andalkan-emas